Logo WhatsApp

Anda Mencari Menerima Jasa Konsultan ISO 9001 di Lampung Barat Kami Solusinya Hubungi : 0857 1027 2813 konsultaniso9001.net adalah Jasa Konsultan ISO 9001, Consultant ISO 14001, Konsultan ISO 22000, OHSAS 18001, Penyusunan Dokumen CSMS-K3LL, K3, ISO/TS 16949,Dll yang BERANI memberikan JAMINAN KELULUSAN & MONEYBACK GUARANTEE ( Tanpa Terkecuali ) yang tertuang dalam kontrak kerja. Sebagai Konsultan ISO dan HSE TERBAIK dan BERPENGALAMAN kami siap membantu perusahaan bapak dan ibu dalam membangun sistem manajemen ISO dan HSE dengan pendekatan yang sistematis tanpa ribet dengan tujuan bagaimana sistem ISO tersebut bisa bermanfaat bagi perkembangan perusahaan serta menjadi pondasi yang kuat untuk kemajuan perusahaan.

Menerima Jasa Konsultan ISO 9001 di Lampung Barat Melalui berbagai TRAINING ISO yang diselenggarakan menggunakan Metode Accelerated Learning, sehingga Karyawan Dipacu untuk lebih aktif dalam pembelajaran sehingga dapat menerapkan Sistem ini dengan Baik Nantinya. Menerima Jasa Konsultan ISO 9001 di Lampung Barat

Tag :
Konsultan ISO 9001 | Menerima Jasa Konsultan ISO 9001 di Lampung Barat

Consultant ISO 14001 Terbaik dan Berpengalaman di Singkawang

Consultant ISO 14001 Terbaik dan Berpengalaman di Singkawang | Hubungi : 0857 1027 2813 PT Bintang Solusi Utama adalah Jasa Konsultan ISO 9001, Consultant ISO 14001, Konsultan ISO 22000, OHSAS 18001, Penyusunan Dokumen CSMS-K3LL, K3, ISO/TS 16949,Dll yang BERANI memberikan JAMINAN KELULUSAN & MONEYBACK GUARANTEE ( Tanpa Terkecuali ) yang tertuang dalam kontrak kerja. Sebagai Konsultan ISO dan HSE TERBAIK dan BERPENGALAMAN kami siap membantu perusahaan bapak dan ibu dalam membangun sistem manajemen ISO dan HSE dengan pendekatan yang sistematis tanpa ribet dengan tujuan bagaimana sistem ISO tersebut bisa bermanfaat bagi perkembangan perusahaan serta menjadi pondasi yang kuat untuk kemajuan perusahaan. Consultant ISO 14001 Terbaik dan Berpengalaman di Singkawang

Saco-Indonesia.com - Minggu sore pekan lalu, Gerald begitu bersemangat menangkap bola.

Saco-Indonesia.com - Minggu sore pekan lalu, Gerald begitu bersemangat menangkap bola. Matanya sigap merespon lemparan bola dari pelatih. Tubuhnya sudah banjir keringat dan baju bola serba hitamnya basah. Dia berlari dengan handuk menempel di tangan menuju penjual air kemasan di luar lapangan. Hausnya sirna tersiram isi botol berkeringat uap es.

Bersama rekannya, Izzan, Gerald keluar lapangan saat jam istirahat meneguk air kemasan mineral untuk menghilangkan dahaga. Saban pekan mereka berdua datang ke lapangan hoki di Senayan, Jakarta Pusat, mengikuti Sekolah Bola Tik Tak. Keduanya merupakan bekas peserta didik Liverpool Internasional Football Academy. Sejak sekolah bola Liverpool ditutup, mereka tetap berlatih di lapangan Hoki Senayan dan bergabung dengan Tik Tak.

Kepala pelatih Sekolah Bola Tik Tak Yahya mengatakan Liverpool Internasional Football Academy sudah tutup sejak Agustus tahun lalu. Tidak ada alasan jelas penutupan sekolah sepakbola bertaraf internasional itu. Padahal sejak berdiri Juli 2011 peminatnya terbilang banyak. Total peserta didik saat tutup di Jakarta dan Pekanbaru sebanyak 500 orang.

"Sudah tutup sejak lebaran kemarin," kata Yahya kepada merdeka.com akhir pekan lalu. Selain tutup tanpa alasan, pengelola Liverpool Internasional Football Academy juga enggan memberikan pemberitahuan kepada para peserta didik.

Seorang pedagang air kemasan di Senayan mengaku disuruh berbohong oleh pihak Liverpool Internasional Football Academy terkait penutupan sekolah sepak bola itu. "Kalau ada yang tanya kita disuruh bilang pindah, padahal tutup sejak puasa tahun kemarin," ujarnya.

Yahya selaku mantan kepala operasional di SSB Liverpool mengaku sejak sekolah bola waralaba Liverpool itu hadir di Indonesia banyak tawaran untuk membuka cabang di berbagai daerah. Namun sayang, baru membuka dua cabang di Jakarta dan di Pekanbaru, Riau, mereka sudah tutup. Padahal kontrak kemitraan di Indonesia sebagai waralaba berjalan lima tahun.

Yahya mengaku tidak tahu alasan penutupan SSB Liverpool lantaran manajemen SSB Liverpool menolak memberi keterangan. "Kalau mau dibilang rugi kayaknya enggak. Kan kontrak waralaba itu lima tahun, ini baru satu tahun lebih sudah tutup," tutur Yahya. Kabar berkembang lantaran masing-masing pemodal asal Indonesia mengundurkan diri tanpa sebab.

Untuk bisa menikmati latihan di Liverpool Internasional Football Academy biayanya tidak murah mulai dari Rp 750 ribu sampai Rp 1.6 juta. Sedangkan Sekolah Sepak Bola Internasional Arsenal mematok tarif pendaftaran Rp 500 ribu untuk usia di bawah enam tahun dan Rp 1.5 juta buat umur di bawah 16 tahun.

Yahya selaku kepala pelatih di Tik Tak dan pernah melatih di SSB Arsenal dan Liverpool itu melihat sekolah sepak bola asing tidak serius mengembangkan sepak bola Indonesia. Keberadaan mereka dinilai mengambil kepentingan bisnis.

"Kalau mereka serius, mereka bikin fasilitas di sini. Mulai dari lapangan milik sendiri, yang ada semua sewa," kata Yahya. Meski mereka tidak menjual pernak-pernik klub, namun keberadaan sekolah berkedok klub sepak bola internasional sangat menguntungkan. "Termasuk melebarkan nama mereka di sini."

Anggota Komite Eksekutif Pembinaan Usia Muda Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia La Siya mengaku tidak mengawasi secara khusus terkait menjamurnya sekolah sepak bola bertaraf internasional. Menurut dia, kehadiran SSB asing hanya mencari keuntungan semata hal wajar. "Terpenting SSB asing itu ikut membangun perkembangan sepak bola Indonesia pada usia dini," katanya saat dihubungi melalui telepon selulernya.

Sumber:kompas.com

Editor : Maulana Lee

Sampai 2013, KTP elektronik sudah dicetak untuk 176 juta warga. Namun, dunia perbankan masih belum menerima penggunaan KTP elektronik yang semestinya berlaku secara nasional.

JAKARTA, Saco- Indonesia.com-  Sampai 2013, KTP elektronik sudah dicetak untuk 176 juta warga. Namun, dunia perbankan masih belum menerima penggunaan KTP elektronik yang semestinya berlaku secara nasional.

KTP elektronik dilaksanakan sejak 2011 dengan tujuan tidak ada lagi warga yang memiliki KTP lebih dari satu.

Sebelumnya, salah satu alasan memiliki KTP ganda yang paling banyak dikemukakan adalah untuk membeli rumah, kendaraan bermotor, serta membuka rekening di bank.

Namun, kendati Presiden sudah menerbitkan aturan yang menyebutkan KTP elektronik berlaku nasional mulai 2013, kenyataannya lain.

Rika, warga Kota Tangerang, kemarin gagal membuka rekening di Bank Mandiri. Sebab, KTP elektroniknya diterbitkan di Yogyakarta.

Pihak bank meminta dia membawa surat keterangan domisili dari RT, RW, dan kelurahan di Sleman, Yogyakarta.

Sebelumnya, Rika juga gagal membeli kendaraan karena KTP elektroniknya tidak bisa digunakan.

Peraturan Presiden 67/2011 tentang Penerapan KTP Berbasis NIK secara Nasional tidak hanya menyebutkan KTP elektronik sebagai identitas resmi bukti domisili penduduk, bukti diri penduduk untuk administrasi pemerintahan, dan bukti diri penduduk untuk pengurusan kepentingan pelayanan publik di instansi pemerintah, pemerintah daerah, lembaga perbankan, dan swasta.

Namun, instansi pemerintah, pemerintah daerah, lembaga perbankan dan swasta juga diwajibkan menyiapkan kelengkapan teknis yang diperlukan berkaitan dengan penerapan e-KTP termasuk pembaca kartu (card reader).

Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution mengatakan, kerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri terkait penggunaan KTP elektronik dan data kependudukan yang tunggal baru dimulai dengan penandatangan nota kesepahaman Senin (6/5/2013).

Kerja sama ini mendorong perbankan menggunakan KTP elektronik. Namun, itu bukan sesuatu yang bisa langsung diterapkan karena diperlukan pembaca kartu (card reader).

Kerja sama ini, lanjut Darmin, juga akan digunakan dalam sistem perbankan secara keseluruhan.

Harapannya, bisa dibentuk nomor identitas keuangan dengan dasar nomor induk kependudukan (NIK).

Sistem ini, menurut Darmin dalam sambutannya, akan memudahkan dalam kepemilikan rekening seorang warga.

Saat ini, tiadanya nomor identitas keuangan membuat seseorang bisa memiliki 30 rekening tanpa terdeteksi. Namun, ketika ditanya kapan KTP elektronik ditargetkan diterima dunia perbankan Indonesia, Darmin mengelak.

"Wong kita baru mulai kerja sama koq," ujarnya. Terkait perlindungan data kependudukan yang dibagi oleh Kemendagri, Darmin juga menyatakan tidak mampu melakukannya.

Kendati bisa membuat Peratuan BI yang tegas, Darmin tidak mampu menjawab sanksi yang bisa diterapkan.

Dia mengelak dengan mengatakan sulit mengetahui di level mana kebocoran data terjadi. Sebab, biasanya dilakukan "orang dalam" bank.

"BI tidak mencampuri bank sampai ke dalam, mereka bertanggungjawab terhadap rahasia keuangan orang, rahasia data orang, dan itu mestinya tanggung jawab dari bank. Kalau data Anda terbuka, Anda berhak menuntut banknya. Tapi tidak semua data pribadi rahasia, data tabungan pasti rahasia, tapi kalau pinjam uang di bank itu bukan rahasia," tuturnya.

Sementara Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengatakan, pembaca kartu (card reader) adalah produk dalam negeri dan bisa dibeli di BPPT.

"Kami hanya memfasilitasi kalau ada yang mau beli card reader impor, tapi produksi dalam negeri lebih murah harganya dan BPPT menjual produk itu untuk swasta," tutur Gamawan.

Selain dengan BI, Kemendagri juga bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan untuk berbagi data kependudukan.

Data ini, kata Dirjen Pajak Fuad Rahmany, akan membantu dalam mengoptimalkan penerimaan pajak. Sebab, saat ini jumlah wajib pajak yang terdaftar baru 60 jutaan dari 110 juta orang yang bekerja di Indonesia.

Lemahnya tingkat kepatuhan membayar pajak disebabkan pula lemahnya akses pada informasi warga dan data tempat tinggalnya.

Bila data nomor pokok wajib pajak dan identitas tunggal sudah berpadu, penelusuran wajib pajak lebih mudah dilakukan.

Gamawan menambahkan, tahun 2013 ini pencetakan KTP elektronik akan mencapai 176 juta.

Namun, pemerintah pusat bersama pemerintah daerah masih mencari wajib KTP yang belum merekam data untuk KTP elektronik. Diperkirakan masih sekitar 16 juta wajib KTP yang belum merekam data.

 
Editor :Maulana Lee
Sumber:KOMPAS.com

BALTIMORE — In the afternoons, the streets of Locust Point are clean and nearly silent. In front of the rowhouses, potted plants rest next to steps of brick or concrete. There is a shopping center nearby with restaurants, and a grocery store filled with fresh foods.

And the National Guard and the police are largely absent. So, too, residents say, are worries about what happened a few miles away on April 27 when, in a space of hours, parts of this city became riot zones.

“They’re not our reality,” Ashley Fowler, 30, said on Monday at the restaurant where she works. “They’re not what we’re living right now. We live in, not to be racist, white America.”

As Baltimore considers its way forward after the violent unrest brought by the death of Freddie Gray, a 25-year-old black man who died of injuries he suffered while in police custody, residents in its predominantly white neighborhoods acknowledge that they are sometimes struggling to understand what beyond Mr. Gray’s death spurred the turmoil here. For many, the poverty and troubled schools of gritty West Baltimore are distant troubles, glimpsed only when they pass through the area on their way somewhere else.

Photo
 
Officers blocked traffic at Pennsylvania and West North Avenues after reports that a gun was discharged in the area. Credit Drew Angerer for The New York Times

And so neighborhoods of Baltimore are facing altogether different reckonings after Mr. Gray’s death. In mostly black communities like Sandtown-Winchester, where some of the most destructive rioting played out last week, residents are hoping businesses will reopen and that the police will change their strategies. But in mostly white areas like Canton and Locust Point, some residents wonder what role, if any, they should play in reimagining stretches of Baltimore where they do not live.

“Most of the people are kind of at a loss as to what they’re supposed to do,” said Dr. Richard Lamb, a dentist who has practiced in the same Locust Point office for nearly 39 years. “I listen to the news reports. I listen to the clergymen. I listen to the facts of the rampant unemployment and the lack of opportunities in the area. Listen, I pay my taxes. Exactly what can I do?”

And in Canton, where the restaurants have clever names like Nacho Mama’s and Holy Crepe Bakery and Café, Sara Bahr said solutions seemed out of reach for a proudly liberal city.

“I can only imagine how frustrated they must be,” said Ms. Bahr, 36, a nurse who was out with her 3-year-old daughter, Sally. “I just wish I knew how to solve poverty. I don’t know what to do to make it better.”

The day of unrest and the overwhelmingly peaceful demonstrations that followed led to hundreds of arrests, often for violations of the curfew imposed on the city for five consecutive nights while National Guard soldiers patrolled the streets. Although there were isolated instances of trouble in Canton, the neighborhood association said on its website, many parts of southeast Baltimore were physically untouched by the tumult.

Tensions in the city bubbled anew on Monday after reports that the police had wounded a black man in Northwest Baltimore. The authorities denied those reports and sent officers to talk with the crowds that gathered while other officers clutching shields blocked traffic at Pennsylvania and West North Avenues.

Lt. Col. Melvin Russell, a community police officer, said officers had stopped a man suspected of carrying a handgun and that “one of those rounds was spent.”

Colonel Russell said officers had not opened fire, “so we couldn’t have shot him.”

Photo
 
Lambi Vasilakopoulos, right, who runs a casual restaurant in Canton, said he was incensed by last week's looting and predicted tensions would worsen. Credit Drew Angerer for The New York Times

The colonel said the man had not been injured but was taken to a hospital as a precaution. Nearby, many people stood in disbelief, despite the efforts by the authorities to quash reports they described as “unfounded.”

Monday’s episode was a brief moment in a larger drama that has yielded anger and confusion. Although many people said they were familiar with accounts of the police harassing or intimidating residents, many in Canton and Locust Point said they had never experienced it themselves. When they watched the unrest, which many protesters said was fueled by feelings that they lived only on Baltimore’s margins, even those like Ms. Bahr who were pained by what they saw said they could scarcely comprehend the emotions associated with it.

But others, like Lambi Vasilakopoulos, who runs a casual restaurant in Canton, said they were incensed by what unfolded last week.

“What happened wasn’t called for. Protests are one thing; looting is another thing,” he said, adding, “We’re very frustrated because we’re the ones who are going to pay for this.”

There were pockets of optimism, though, that Baltimore would enter a period of reconciliation.

“I’m just hoping for peace,” Natalie Boies, 53, said in front of the Locust Point home where she has lived for 50 years. “Learn to love each other; be patient with each other; find justice; and care.”

A skeptical Mr. Vasilakopoulos predicted tensions would worsen.

“It cannot be fixed,” he said. “It’s going to get worse. Why? Because people don’t obey the laws. They don’t want to obey them.”

But there were few fears that the violence that plagued West Baltimore last week would play out on these relaxed streets. The authorities, Ms. Fowler said, would make sure of that.

“They kept us safe here,” she said. “I didn’t feel uncomfortable when I was in my house three blocks away from here. I knew I was going to be O.K. because I knew they weren’t going to let anyone come and loot our properties or our businesses or burn our cars.”

WASHINGTON — During a training course on defending against knife attacks, a young Salt Lake City police officer asked a question: “How close can somebody get to me before I’m justified in using deadly force?”

Dennis Tueller, the instructor in that class more than three decades ago, decided to find out. In the fall of 1982, he performed a rudimentary series of tests and concluded that an armed attacker who bolted toward an officer could clear 21 feet in the time it took most officers to draw, aim and fire their weapon.

The next spring, Mr. Tueller published his findings in SWAT magazine and transformed police training in the United States. The “21-foot rule” became dogma. It has been taught in police academies around the country, accepted by courts and cited by officers to justify countless shootings, including recent episodes involving a homeless woodcarver in Seattle and a schizophrenic woman in San Francisco.

Now, amid the largest national debate over policing since the 1991 beating of Rodney King in Los Angeles, a small but vocal set of law enforcement officials are calling for a rethinking of the 21-foot rule and other axioms that have emphasized how to use force, not how to avoid it. Several big-city police departments are already re-examining when officers should chase people or draw their guns and when they should back away, wait or try to defuse the situation

Artikel lainnya »