Logo WhatsApp

Anda Mencari Tempat Jasa Konsultan ISO 9001 Murah di Karimun Kami Solusinya Hubungi : 0857 1027 2813 konsultaniso9001.net adalah Jasa Konsultan ISO 9001, Consultant ISO 14001, Konsultan ISO 22000, OHSAS 18001, Penyusunan Dokumen CSMS-K3LL, K3, ISO/TS 16949,Dll yang BERANI memberikan JAMINAN KELULUSAN & MONEYBACK GUARANTEE ( Tanpa Terkecuali ) yang tertuang dalam kontrak kerja. Sebagai Konsultan ISO dan HSE TERBAIK dan BERPENGALAMAN kami siap membantu perusahaan bapak dan ibu dalam membangun sistem manajemen ISO dan HSE dengan pendekatan yang sistematis tanpa ribet dengan tujuan bagaimana sistem ISO tersebut bisa bermanfaat bagi perkembangan perusahaan serta menjadi pondasi yang kuat untuk kemajuan perusahaan.

Tempat Jasa Konsultan ISO 9001 Murah di Karimun Melalui berbagai TRAINING ISO yang diselenggarakan menggunakan Metode Accelerated Learning, sehingga Karyawan Dipacu untuk lebih aktif dalam pembelajaran sehingga dapat menerapkan Sistem ini dengan Baik Nantinya. Tempat Jasa Konsultan ISO 9001 Murah di Karimun

Tag :
Konsultan ISO 9001 | Tempat Jasa Konsultan ISO 9001 Murah di Karimun

Jasa Pelatihan ISO 9001 di Solok Selatan

Jasa Pelatihan ISO 9001 di Solok Selatan | Hubungi : 0857 1027 2813 PT Bintang Solusi Utama adalah Jasa Konsultan ISO 9001, Consultant ISO 14001, Konsultan ISO 22000, OHSAS 18001, Penyusunan Dokumen CSMS-K3LL, K3, ISO/TS 16949,Dll yang BERANI memberikan JAMINAN KELULUSAN & MONEYBACK GUARANTEE ( Tanpa Terkecuali ) yang tertuang dalam kontrak kerja. Sebagai Konsultan ISO dan HSE TERBAIK dan BERPENGALAMAN kami siap membantu perusahaan bapak dan ibu dalam membangun sistem manajemen ISO dan HSE dengan pendekatan yang sistematis tanpa ribet dengan tujuan bagaimana sistem ISO tersebut bisa bermanfaat bagi perkembangan perusahaan serta menjadi pondasi yang kuat untuk kemajuan perusahaan. Jasa Pelatihan ISO 9001 di Solok Selatan

Masyarakat Muslim yang berencana melaksanakan ibadah Haji diminta untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Bukan hannya dari segi

Masyarakat Muslim yang berencana melaksanakan ibadah Haji diminta untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Bukan hannya dari segi materi atau kesehatan fisik, tapi juga dari sisi mental serta memahami rukun dan tata cara prosesi ibadah haji. Salah satu persiapan yang sangat penting bagi setiap calon jamaah adalah manasik. Biasanya Kementrian Agama meminta kepada setiap jamaah regular maupun haji hkusus untuk mengikuti manasik yang diselenggarakan oleh kelompok Bimbingan Ibadah Haji ( KBIH ) atau biro perjalanan haji. Dalam manasik, jamaah akan mendapatkan pembekalan mengenai tata cara ibadah, rukun, syarat, wajib, atau hal-hal yang tidak boleh dilakukan di Tanah Suci serta sosialisasi kebijakan pemerintah Arab Saudi. Manasik adalah sebuah keharusan, karena ini pembekalan untuk jamaah, ujar ustadz Muhammad hafidz kepada Republika, selasa (14/6). Manasik , lanjut dia, sangat bermanfaat bagi jamaah. Lewat kuliah singkat ini, jamaah bakal mengetahui apa yang harus dilakukan ketika berada di Tanah Suci. Karena untuk berhaji ataupun umrah, jamaah tidak cukup hanya berbekal niat atau mampu, tapi tidak tahu, ketika sampai di sana dan kembali ke Tanah Air, tidak aka nada perubahan, ujarnya Materi manasik yang diberikan, menurut hafidz, tidak hanya soal haji atau umrah, tapi juga pembekalan mulai dari apa itu Islam, bagaimana ber-islam yang benar dan hal lainnya, termasuk melaksanakan tawaf, sa’I, dan wukuf di Arafah. Pembimbing haji dan umrah, ustadz Ali Nurul Hak menjelaskan, manasik sangat penting agar jamaah mengetahui tujuan berangkat ke Tanah Suci untuk ibadah karena Allah. Supaya Jamaah bisa menjalankan syariah dengan benar. Cara Ibadahnya benar, akhirnya dapat yang baik, katanya. Dalam manasik calon jamaah akan mendapatkan pencerahan mengenai filosofi ibadah, tawaf, sa’I, dan tahallul. Selain itu, juga dijelaskan mengenai ritual ibadah, rukun, wajib dan syarat haji, dan juga tak ketinggalan mengenai regulasi Sekretaris Jenderal Forum Komunikasi Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (FKKBIH), Qosim Shaleh mengataka, manasik memiliki multi manfaat, pengenalan lapangan, pendalaman substansi haji, sosialisasi situasi suasana, pengenalan budaya Arab, juga meningkatkan kualitas ilmu calon jamaah serta perluasan cakrawala ilmu pengetahuan. Jamaah yang tidak mengikuti manasik bakal mengalami kesulitan ketika di Tanah Suci. Mereka yang sudah berhaji dua kali pun, terkadang tetap mengalami kesulitan, khususnya dalam menghafal bacaan atau doa-doa penting. Apalagi jamaah yang baru kali pertama melaksanakan haji, tentu saja akan sangat kesulitan. Persiapan psikis jamaah juga penting disamping fisik. Para pembimbing juga mengajarkan agar jamaah mampu menendalikan sifat iri, emosi, takabur, dan lainnya. Setiap jamaah juga diminta bersosialisasi dengan jamaah lainnya. Hal ini penting agar jamaah memiliki akhlakul karimah dan akidah yang baik. Untuk itu dalam manasik, jamaah disarankan saling mengenal satu sama lain. Agar timbul rasa kekeluargaan dan persaudaraan. Sehingga ketika ada masalah bisa diselesaikan dengan kekeluargaan pula. Sebelumnya Wakil Ketua Umum Himpunan Penyelenggara Umrah dan haji, Djadjang Sudradjat mengatakan, pentingnya manasik haji bisa dilihat dari dua sisi pertama, sisi agama. Haji merupakan ibadah dan bagian dari rukun islam. Tentunya, semuanya harus ada syaratnya. Haji pun ada urutannya, mulai dari ihram, wukuf di Arafah, tawaf ifadah, sa’I, tahallul, serta tertib. REPUBLIKA

Sumber : http://www.umrahhajiplus.com

Baca Artikel Lainnya : PEMAHAMAN TERHADAP IBADAH HAJI DAN UMRAH

saco-indonesia.com, Endang Hidayat yang berusia (53) tahun meninggal dunia saat mendaki Gunung Semeru di Malang, Jawa Timur. End

saco-indonesia.com, Endang Hidayat yang berusia (53) tahun meninggal dunia saat mendaki Gunung Semeru di Malang, Jawa Timur. Endang yang diketahui memang seorang pecinta alam sejak muda.

"Sudah banyak gunung yang didaki, termasuk Puncak Wijaya di Papua," kata anak kandung Endang, Dian Wahyuni Khairunnisa yang berusia (24) tahun di rumah duka, Jalan Carita C Nomor 199 Blok VII, RT 06 RW 08, Sepanjang Jaya Rawalumbu, Kota Bekasi, Kamis (26/12).

Menurut dia, ayahnya baru berhenti mendaki setelah usianya sudah mulai tua setelah pensiun dari perusahaan tempatnya bekerja. Aktivitasnya juga sering dihabiskan berada di rumah sebagai orangtua yang telah mempunyai cucu enam.

"Papa naik gunung ingin menemani anaknya. Karena ingin mendaki bersama anaknya dan cucunya. Tapi cucunya masih kecil, jadi tidak mungkin diajak," ujar Dian.

Menurut dia, pihak keluarga juga sudah melarang Endang agar tak ikut mendaki. Mengingat usianya yang sudah tua, bahkan fisiknya juga sudah tak seperti dulu lagi.

"Tapi Papa juga kepingin banget, sampai dibela-belain beli tiket sendiri," ujarnya.

Endang dan anaknya Danu Swuandana Saputra yang berusia (28) tahun berangkat menuju Malang pada Senin lalu. Endang berangkat dari Stasiun Pasar Senen, sedangkan anaknya dari Bandung, mereka juga tiba di Malang pada Selasa pagi.

"Papa dan Aa ketemuan di Stasiun Malang, Papa tiba duluan," ujarnya.

Namun dia juga tak menyangka kalau ayahnya mendaki gunung ini yang terakhir kalinya. Endang meninggal dunia ketika masuk di Pos Dua di Gunung Semeru. Jenazahnya rencananya akan dimakamkan di Sumedang, Jawa Barat malam ini.


Editor : Dian Sukmawati

Imagine an elite professional services firm with a high-performing, workaholic culture. Everyone is expected to turn on a dime to serve a client, travel at a moment’s notice, and be available pretty much every evening and weekend. It can make for a grueling work life, but at the highest levels of accounting, law, investment banking and consulting firms, it is just the way things are.

Except for one dirty little secret: Some of the people ostensibly turning in those 80- or 90-hour workweeks, particularly men, may just be faking it.

Many of them were, at least, at one elite consulting firm studied by Erin Reid, a professor at Boston University’s Questrom School of Business. It’s impossible to know if what she learned at that unidentified consulting firm applies across the world of work more broadly. But her research, published in the academic journal Organization Science, offers a way to understand how the professional world differs between men and women, and some of the ways a hard-charging culture that emphasizes long hours above all can make some companies worse off.

Photo
 
Credit Peter Arkle

Ms. Reid interviewed more than 100 people in the American offices of a global consulting firm and had access to performance reviews and internal human resources documents. At the firm there was a strong culture around long hours and responding to clients promptly.

“When the client needs me to be somewhere, I just have to be there,” said one of the consultants Ms. Reid interviewed. “And if you can’t be there, it’s probably because you’ve got another client meeting at the same time. You know it’s tough to say I can’t be there because my son had a Cub Scout meeting.”

Some people fully embraced this culture and put in the long hours, and they tended to be top performers. Others openly pushed back against it, insisting upon lighter and more flexible work hours, or less travel; they were punished in their performance reviews.

The third group is most interesting. Some 31 percent of the men and 11 percent of the women whose records Ms. Reid examined managed to achieve the benefits of a more moderate work schedule without explicitly asking for it.

They made an effort to line up clients who were local, reducing the need for travel. When they skipped work to spend time with their children or spouse, they didn’t call attention to it. One team on which several members had small children agreed among themselves to cover for one another so that everyone could have more flexible hours.

A male junior manager described working to have repeat consulting engagements with a company near enough to his home that he could take care of it with day trips. “I try to head out by 5, get home at 5:30, have dinner, play with my daughter,” he said, adding that he generally kept weekend work down to two hours of catching up on email.

Despite the limited hours, he said: “I know what clients are expecting. So I deliver above that.” He received a high performance review and a promotion.

What is fascinating about the firm Ms. Reid studied is that these people, who in her terminology were “passing” as workaholics, received performance reviews that were as strong as their hyper-ambitious colleagues. For people who were good at faking it, there was no real damage done by their lighter workloads.

It calls to mind the episode of “Seinfeld” in which George Costanza leaves his car in the parking lot at Yankee Stadium, where he works, and gets a promotion because his boss sees the car and thinks he is getting to work earlier and staying later than anyone else. (The strategy goes awry for him, and is not recommended for any aspiring partners in a consulting firm.)

A second finding is that women, particularly those with young children, were much more likely to request greater flexibility through more formal means, such as returning from maternity leave with an explicitly reduced schedule. Men who requested a paternity leave seemed to be punished come review time, and so may have felt more need to take time to spend with their families through those unofficial methods.

The result of this is easy to see: Those specifically requesting a lighter workload, who were disproportionately women, suffered in their performance reviews; those who took a lighter workload more discreetly didn’t suffer. The maxim of “ask forgiveness, not permission” seemed to apply.

It would be dangerous to extrapolate too much from a study at one firm, but Ms. Reid said in an interview that since publishing a summary of her research in Harvard Business Review she has heard from people in a variety of industries describing the same dynamic.

High-octane professional service firms are that way for a reason, and no one would doubt that insane hours and lots of travel can be necessary if you’re a lawyer on the verge of a big trial, an accountant right before tax day or an investment banker advising on a huge merger.

But the fact that the consultants who quietly lightened their workload did just as well in their performance reviews as those who were truly working 80 or more hours a week suggests that in normal times, heavy workloads may be more about signaling devotion to a firm than really being more productive. The person working 80 hours isn’t necessarily serving clients any better than the person working 50.

In other words, maybe the real problem isn’t men faking greater devotion to their jobs. Maybe it’s that too many companies reward the wrong things, favoring the illusion of extraordinary effort over actual productivity.

The bottle Mr. Sokolin famously broke was a 1787 Château Margaux, which was said to have belonged to Thomas Jefferson. Mr. Sokolin had been hoping to sell it for $519,750.

Artikel lainnya »